software

Kamis, 24 April 2014

The Chosen One Hanya Numpang Lewat

Tulisan ini tadinya bermaksud memberikan sedikit ruang untuk David Moyes. Setelah sekian banyak kritik dan sorotan yang diterimanya di luar sana, seharusnya ada sedikit pembelaan.

Tapi, maaf, pandangan paling netral sekalipun bakal sulit untuk membela Moyes. Seiring berjalannya waktu, seiring bertambahnya keriput di dahi Moyes, sebanyak itu pula mereka yang mendukung Manchester United menyuarakan keheranan.

Ketika Sir Alex Ferguson menyuarakan keras-keras lewat mikrofonnya bahwa segenap Old Trafford "bertugas" untuk mendukung penuh manajer berikutnya, tidak ada yang akan menyangka United akan terpuruk sedemikian dalam. Tidak ada yang menyangka masa transisi yang disebut-sebut bakal berat itu bakal seberat ini.

Pada musim di mana rival terberat mereka, Liverpool, begitu digdaya, United terbenam justru. Harapan untuk menggenggam trofi di akhir musim satu per satu sirna. United begitu medioker dalam hal performa dan hasil, 11 kekalahan yang biasanya mereka dapat dalam dua musim, kini mereka rangkum dalam satu musim saja.

Sulit untuk tidak mengarahkan lampu sorot kepada Moyes. Mereka yang masih membelanya boleh mengatakan bahwa setiap manajer membutuhkan waktu. Namun, seperti yang dikatakan oleh Jamie Carragher dalam analisisnya, waktu hanya tersedia bagi mereka yang menunjukkan sepercik harapan. Masalahnya, Moyes tidak menunjukkan harapan apa-apa.

Dalam masa jayanya sekalipun, United sudah cukup sering meraih hasil-hasil memalukan. Ambil contoh ketika mereka dihantam Newcastle United 0-5 pada 1996/1997 ataupun dilumat Chelsea dengan skor yang sama pada 1999/2000. Namun, yang membedakan antara United yang dulu dan yang sekarang adalah mereka mampu merespons dengan baik usai meraih hasil buruk. Hasilnya, pada kedua musim di mana dua kekalahan besar itu terjadi, United sukses jadi juara liga.

Ini yang tidak ada dalam United milik Moyes. United yang memang sedang dalam penurunan performa dalam beberapa musim terakhir itu tidak diperbaiki dengan sempurna oleh Moyes. Alih-alih mengangkat dan memperbarui permainan United, Moyes malah kerap memainkan strategi cautious, yang bahkan membuat United bermain terlampau berhati-hati ketika menghadapi lawan-lawan semodel West Bromwich Albion.

Memang ada argumen bahwa skuat United yang ada saat ini sudah terlampau usang untuk memainkan taktik dan strategi kekinian. Banyak pemain senior juga mulai turun performanya. Tapi, Moyes juga tidak membantu dirinya sendiri dengan melakukan pembelian yang tepat pada musim panas ataupun mempertahankan segenap staf pelatih untuk membuat masa transisi berjalan mulus.

Ini kemudian diperparah dengan tidak adanya tactical plan yang jelas dari Moyes. Total ada 52 starting line-up berbeda yang ditunjukkan Moyes sepanjang musim ini. Memunculkan argumen bahwa Moyes tidak cukup memahami materi pemain yang dimilikinya sendiri. Dia kerap memaksakan memakai sayap ketika sayap-sayap United berada dalam performa terburuknya. Dia juga ngotot memberikan posisi nomor 10 kepada Wayne Rooney, ketika ada pemain seperti Juan Mata dan Shinji Kagawa yang terbukti lebih fasih memainkan peran tersebut.

Rooney memang bisa memainkan tugas sebagai nomor 10, tetapi acapkali bingung ke mana harus membagi bola. Jika buntu, Rooney kerap mengalirkan bola ke sisi sayap. Alhasil, United pun menuntaskan serangan lewat umpan silang dan (lagi-lagi) permainan mereka dengan mudah terbaca oleh lawan. Laga melawan Newcastle United dan Everton menunjukkan perbandingan soal Rooney.

Tanpa Rooney, United memainkan Kagawa dan Mata sebagai bagian dari trio di belakang penyerang tunggal. Hasilnya, pergerakan United begitu cair. Mata yang tadinya dikira bakal mematikan karier Kagawa di United, sebaliknya, justru menghidupkannya kembali. Pergerakan cair di antara para gelandang seperti itulah yang dulu biasa didapatkan Kagawa selama membela Borussia Dortmund.



Sementara pada laga melawan Everton, Rooney tampil relatif buruk. Ditempatkan sebagai penyerang tunggal, dia malah ikut asyik turun membantu mencari bola. Sialnya buat United, itu malah membuat tempo serangan mereka menjadi lambat akibat beberapa keputusan yang diambil Rooney buruk. Rooney memang sempat membuat beberapa peluang tepat di depan gawang, dan ini menunjukkan bahwa justru di sanalah posisi terbaik Rooney.

Repotnya, Moyes seperti menganakemaskan Rooney. Apa pun yang diinginkan Rooney, ada kemungkinan bakal dituruti. Rooney bukanlah pemain buruk. Malah, sebaliknya, dia cukup brilian. Hanya saja, Moyes salah dalam melakukan man management terhadapnya.

Kesalahan taktik pada laga melawan Everton masih ditambah dengan fakta bahwa Moyes menurunkan dua gelandang tengah, Michael Carrick dan Darren Fletcher. Namun, alih-alih melapis barisan pertahanan posisi keduanya malah kerap terlalu naik dan meninggalkan jarak besar dengan barisan pertahanan. Bandingkan dengan duet Gareth Barry dan James McCarthy yang begitu ajek berdiri tepat di depan barisan pertahanan Everton. The Toffees pun dengan mudah melakukan serangan balik, terutama melalui sisi kanan yang ditempati oleh Seamus Coleman.

Kemenangan taktik Roberto Martinez dengan Everton-nya itu makin membuat pilu Moyes. Dia tidak dirindukan oleh mantan klubnya dan kekalahan akhir pekan kemarin membuat klubnya saat ini ingin cepat-cepat mendepaknya. Pemecatan jadi sesuatu yang tidak terelakkan lagi.

Entah apa yang ada di benak Moyes sekarang. Mungkin, waktu sedang berjalan lambat di pikirannya dan perlahan-lahan memutar balik ke setahun silam, ketika Sir Alex tanpa tedeng aling-aling menunjuknya sebagai penerusnya. Moyes mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Seorang Sir Alex memutuskan masa depannya dan dia hanya bisa mengangguk.

Tidak ada yang salah, memang, dengan menerima tawaran dari salah satu klub terbesar di Inggris. Manajer mana pun yang membutuhkan batu pijakan untuk naik ke level berikutnya pasti sulit untuk menolak. Mungkin kala itu Moyes punya cukup keyakinan bahwa dia bisa meneruskan jejak kompatriotnya. Tapi, yang terlihat sekarang adalah Moyes masih terpekur pada pertemuan dengan Sir Alex saat itu dan dia tidak tahu apa yang dilakukannya saat ini.

Seorang manajer yang bagus seharusnya tahu apa yang ingin dicapainya dan bagaimana cara mencapainya. Ambil perbandingannya dengan Pep Guardiola. Dia selalu tahu bahwa cara terbaik untuk memperbarui gairah melatih adalah dengan menandatangani kontrak setahun demi setahun. Oleh karenanya, ketika Sandro Rosell --presiden Barcelona ketika Pep jadi pelatih di sana-- bertanya soal kontrak baru dalam sebuah acara makan malam yang santai, Pep tidak menurunkan penjagaannya. Dengan tegas dia menjawab, "Ini bukan saatnya, Tuan."

Pep tahu bahwa untuk bisa sukses bersama Bayern Munich, dia harus fasih meneriakkan instruksi dalam bahasa yang dipahami anak-anak buahnya. Maka, belajarlah dia bahasa Jerman selama setahun. Dalam kelanjutannya, Pep juga tahu sepakbola seperti apa yang diinginkannya dari Bayern. Seperti ketika Johan Cruyff mengalih-posisikan dirinya dari full-back menjadi gelandang bertahan, Pep memindahkan posisi Philipp Lahm ke posisi yang sama.

Dia juga mengubah formasi Bayern menjadi 4-1-4-1. Proses ini tidak berjalan lancar awalnya, para pemain sempat bingung. Namun, seperti yang sudah diucapkan oleh Carragher, waktu layak diberikan kepada mereka yang menunjukkan harapan. Pep, dalam hal ini menunjukkan rencana yang jelas dan oleh karenanya menunjukkan sepercik harapan. Pep pun perlahan-lahan berhasil dan hasilnya bisa dilihat saat ini.

Hal yang sama juga dilakukan Brendan Rodgers di Liverpool. Para petinggi klub bersabar dengannya, meski The Reds finis di urutan ketujuh pada musim lalu. Mereka tahu bahwa performa Liverpool pada paruh kedua musim, seiring masuknya Philippe Coutinho dan Daniel Sturridge, menunjukkan perubahan signifikan. Hasilnya, lagi-lagi, bisa dilihat pada saat ini.

Moyes, yang disebut The Chosen One itu, pada akhirnya hanya seorang manajer yang numpang lewat dalam catatan sejarah United. Moyes bukanlah messiah, bukan penyelamat. Moyes bukanlah Moyes-siah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar