software

Minggu, 27 April 2014

Mengenal Sosok Diego Simeone, Ditakdirkan untuk Atletico

Sebagai seorang pemain yang telah berkelana ke mana-mana, Simeone telah mencicipi banyak kesuksesan. Kariernya sebagai pengolah si kulit bundar di lapangan memang selalu memberikan tuah bagi klub yang ia bela.

Di Italia, Simeone mampu memberi gelar bagi Inter Milan (Piala UEFA) dan SS Lazio (scudetto dan Coppa Italia tahun 2000. Namun pencapaian terbesarnya terjadi beberapa tahun sebelumnya, yaitu di kota Madrid, ketika pada pertengahan dekade 90-an ia menjadikan Atletico menjadi salah satu klub yang begitu ditakuti.

Menjadi kapten tim, Simeone membantu Los Rojiblancos menyabet gelar La Liga pada musim 1995/1996, yang sekaligus mengakhiri penantian selama 20 tahun lamanya. Tak hanya itu, di musim yang sama Atletico juga memenangi Copa del Rey. Itulah kali pertama mereka bisa meraih double winners.

Dimulai dari Nol

Ada sebuah kebiasaan yang acapkali dilakukan Simeone. Ia senang meniti karier dari nol dan menata mimpinya step by step, dari klub kecil baru kemudian melangkah ke klub yang lebih besar. Simeone bukan tipikal pemain yang langsung dapat mencapai puncak.

Pada masa-masa awal karier kepelatihannya, Simeone adalah tipikal kutu loncat. Setiap tahunnya ia selalu berpindah-pindah klub. Kultur sepakbola Argentina yang bisa menolerir kegagalan jadi salah satu penyebabnya. Meski tak mampu mengangkat prestasi klubnya, ia tak dianggap seoang yang gagal sehingga masih diberi kesempatan belajar di klub lainnya.

Simeone memulai karier kepelatihannya bersama klub kecil Racing Avellaneda, yang berujung pada kegagalan. Ia kemudian sempat berpindah ke Estudiantes, River Plate, dan San Lorenzo. Ada yang berhasil Simeone beri gelar, ada juga yang tidak.

Bosan di Argentina, Simeone sempat mencicipi persaingan di Serie A, saat diminta melatih klub gurem Catania. Tapi nyatanya Simeone ternyata hanya mampu bertahan 6 bulan. Presiden Klub Antonino Pulvirenti memecatnya, padahal Simeone mampu membuat Catania lolos dari degradasi.

Dia lalu kembali ke Racing Avellanada. Dan kedatangan keduanya ini ditandai dengan kesuksesan. Saat Simeone mulai melatih, Racing berada di kasta rendah divisi 2. Hadirnya Simeone ternyata mampu membawa klub ini kembali masuk Liga Primera Argentina.

Tapi prestasi bersama Racing itu hanya satu-satunya highlight kepelatihannya sebelum ia menangani Atletico. Kariernya sebagai arsitek tim ditandai dengan masa-masa yang tidak spesial. Jika dikalkulasikan dalam periode 5 tahun selama melatih 6 klub berbeda, presentase kemenangannya pun hanya 43,5 %.

Maka kedatangannya ke Atletico pun terasa hanya suatu kewajaran. Ia memang bukan pelatih sukses, tapi ia adalah seorang legenda yang mampu mempersatukan tim. Sang kapten yang meraih gelar ganda dan mencetak sejarah baru.

Saat datang ke Madrid, Atletico memang sedang dalam kondisi terpuruk. Sebagai klub yang memiliki nama besar, posisi mereka berada di papan tengah. Saat Simeone mengambil alih, Atletico sedang berada pada posisi ke-10 di La Liga dan baru saja tersingkir dari Copa Del Rey. Pemiliknya mengalami krisis finansial dan krisis manajerial, demikian pula dengan jajaran direksi, pemain, pelatih, dan bahkan para suporter yang kerap bertingkai.

Kedatangan Simeone terasa wajar, karena ia adalah legenda yang suaranya didengarkan oleh siapapun. Perekrutan Simeone hanyalah sebuah keniscayaan. Bukan karena ia diharapkan untuk membawa Atletico ke puncak prestasi tertinggi, tapi karena diantara sekian banyak pertikaian yang terjadi, ia bisa jadi sosok pemimpin.

"Saya selalu punya mimpi untuk kembali ke Atletico sebagai pelatih. Saya ingin membawa etos kerja dan antusiasme yang saya punya. Tanggung jawab ini sangat besar tetapi tidak membuat saya takut. Beban ini membuat saya bergairah. Saya selalu ingin meningkatkan tantangan. Dan Atletico adalah tantangan saya selanjutnya," ucap Simeone kepada Daily Mail tak lama setelah dia diangkat sebagai pelatih menggantikan Quique Florez.

Tak ada yang tahu sejauh apa Simeone mampu mengangkat Atletico untuk bersaing dengan Barcelona dan Real Madrid. Toh, perjudian mengambil seorang legenda untuk dijadikan pelatih tak selalu berjalan mulus. Untuk setiap cerita kesuksesan seperti Antonio Conte atau Josep Guardiola, selalu ada kisah tentang kegagalan Diego Maradona bersama Argentina.

Tapi nyatanya Simeone memberikan hasil yang fantastis. Satu gelar Eropa Leaque, satu gelar Piala Super Eropa dan satu Copa Del Rey tentu cukup bagi klub sekelas Atletico. Musim ini gelar itu mungkin akan ditambah jika menilik kans besar mereka dalam meraih La Liga dan Liga Champions.

Tuah Gelandang Bertahan

Ada teori yang menyatakan bahwa seorang gelandang bertahan akan menjadi pelatih yang hebat. Dan kehadiran Simeone seolah mendukung teori itu.

Adalah anak Johan Cruyff, yaitu Jordi Cruyff, yang mencetuskan teori ini. Ia ​​baru-baru ini memaparkan ide teori dalam sebuah wawancara dengan Daily Mail.

"Saya memiliki teori bahwa pelatih terbaik adalah mereka yang dulunya bermain pada posisi gelandang bertahan. Dalam beberapa tahun terakhir kita dapat melihat ada Guardiola, Rudi Garcia, Paulo Sousa, dan Roberto Martinez," ujar Jordi.

Menurutnya lagi, ini dikarenakan gelandang bertahan selalu memiliki pemain di sekelilingnya. Ia harus memiliki kesadaran yang sangat baik dan memiliki kemampuan untuk membuat keputusan dengan cepat.

"Ini bukan jaminan sukses, tetapi tidak kebetulan bahwa pelatih-pelatih yang saya sebut tadi bermain di posisi itu," lanjut Jordi.

Sebagai seorang gelandang bertahan, Simeone kaya akan beragam pengalaman. Ia juga pernah bermain bersama legenda lainnya seperti Maradona, Juan Sebastian Veron, Alessandro Nesta, Sinisa Mihajlovic, Pavel Nedved, dan Fernando Redondo.



Ada satu yang khas dari Simeone. Sebagai gelandang bertahan murni ia adalah sosok yang agresif. Raihan gol yang ia dapat [84 gol dari 513 penampilan ] adalah hal yang cukup anomali bagi seorang gelandang bertahan.

Pada dasarnya, pelatih-pelatih dari Argentina hanya akan menganut dua filosofi permainan: Menottisme atau Billardisme.

Paham yang pertama, Menottisme, meletakkan sepakbola menyerang nan indah sebagai prinsip dasar, seperti yang diperagakan Cesar Luis Menotti saat membawa Argentina juara Piala Dunia 1978. Kebalikannya, Billardisme adalah filosofi yang lebih pragmatis cenderung bertahan, seperti yang dicetuskan Carlos Bilardo pada Piala Dunia 1986.

Sebagai seorang mantan gelandang bertahan, tentu saja Simeone menganut paham Billardisme. Lama di Italia yang identik dengan cattenacio membuat Simeone semakin mendalami arti dari sebuah pertahanan. Alhasil Atletico kini jauh lebih tampak "ke-italia-italia-an" dengan bermain sabar, keras, dan menunggu lawan lengah untuk mencetak gol.

Statistik berbicara mengenai hal itu. Sebagai pemuncak klasemen La Liga, dari segi shot per game, jika diurutkan, Atletico malah berada di peringkat 9 dengan rataan 13 shot per game. Total percobaan mencetak gol mereka musim ini mencapai 443 shot. Angka ini amat jauh dengan Real Madrid yang melakukan 635 shoot atau 19,2 shot per game.

Dari segi ball possesion dan complete passing, Atletico berada di peringkat 8. Tiap pertandinganya, Atletico hanya mampu menguasai 49% bola dan melakukan 77,8% operan sukses. Angka ini tentu jadi sebuah anomali jika mengingat posisi Atletico yang berada di peringkat satu klasemen La Liga, liga yang terkenal dengan teknik bermain para pesepakbolanya.

Tapi, dalam soal bertahan, mereka boleh sedikit jemawa. Angka tekel per laga mereka merupakan terbesar di Eropa, dengan rataan 24,3 per game dari total 823 tekel.

Data-data inilah yang kadang dikritik oleh media, mengingat kultur menyerang ala matador yang jadi ciri khas sepakbola Spanyol mulai punah di Atletico.

Untuk mengubah suatu sistem butuh orang yang keras kepala. Bill Shankly, Alex Ferguson hingga Guardiola sukses karena itu. Mereka tetap teguh memegang visi dan misi pribadi untuk diaplikasikan kedalam pengorganisasian klub. Simeone pun melakukan hal yang sama.

Dia adalah sosok yang otoriter di Atletico. Para pemainnya dituntut selalu bekerja keras dan disiplin, mengikuti secara kaku rencana taktis yang ditata untuk tim. Sebagai tim yang selalu memainkan pressing ketat saat bertahan dan menyerang lewat kolektivitas, tanpa kepemimpinan Simeone pencapaian Atletico musim ini mungkin mustahil didapat.

Ada sebuah filosofi yang selalu ditanamkan Simeone kepada anak asuhnya

"Saya selalu berpikir mereka (direksi) akan memecat saya besok. Jadi saya hanya fokus pada kemenangan pada hari ini, karena ini adalah hari terakhir saya bersama klub. Saya selalu menanamkan filosfi ini kepada seluruh pemain," ujarnya pada Four Four Two.

"Mereka paham bahwa tiap pertandingan adalah final," tambahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar